MenurutAl-Habib Salim bin Abdullah Asy-Syathiri, para wali
Songo yangmenyebarkan dakwah Islamiyah di Indonesia mereka adalah para
alawiyinyang datang dari Hadramaut. Mereka merupakan para dzuriyat
Rasulullahyang silsilahnya bersambung kepada Al-Imam Ahmad Al-Muhajir.
Sisilsilahwali Songo sampai kepada Alwi ‘Am Al-Faqih Al-Muqaddam (paman
dariAl-Faqih Al-Muqaddam). Alwi ini memiliki sebelas putra. Dari
kesebelasputera inilah yang meregenerasikan para ulama yang bertebaran
keberbagai penjuru dunia. Di antara puteranya itu adalah Abdul Malik yangkemudian
berhijrah ke India. Abdul Malik memiliki putera yang bernamaAbdullah. Dari
Abdullah inilah terlahir Ahmad Jalaludin, yangselanjutnya memiliki keturunan
penyebar dakwah Islam di Asia Tenggaraterkenal dengansebutan wali Songo.
Darirujukan berbagai kitab sejarah yang mu’tabar dapar kita
temukan bahwapara wali Songo itu adalah keturunan ba’alawi yang selalu
berpegangteguh pada ajaran para leluhurnya, yaitu bermadzhab Syafi’I secara
fikihdan secar akhidah mereka menganut teologi Abu Hasan Al-Asy’ari dan
AbuMansur Al-Maturidi, sedangkan manhaj dakwah mereka mengikuti
thariqahba’alawi.
Kemudian Habib Salim bin Abdullah Asy-Syathirimengingatkan,
agar umat Islam mempertahankan akidah yang telah dibawaoleh wali Songo dan
tetap berada dalam thariqoh salafisshalih, paragenerasi terdahulu yang memiliki
keimanan yang kuat. Menurut beliauakidah ahlussunnah wal jama’ah adalah ajaran
yang sudah mu’tabar dandiakui oleh mayoritas ulama. Semua konsep keilmuan dan
akhidah yangmenjadi landasan ajaran ini terkodifikasikan dalam banyak
literaturekeislaman. Dan semua literature itu dapat dipertanggungjawabkan
secarailmiah. Habib Salim Asy-Syathiri kembali menegaskan, bahwa akidahba’alawi
berlandaskan pada ahlussunnah wal jama’ah. Yaitu sebuah ajaranyang tidak pernah
mencaci siapapun, apalagi para sahabat Rasulullah.
Menanggapibeberapa golongan bani ‘alawi yang menyimpang,
Habib Salimmengibaratkannya seperti organ tubuh yang terkena noda. Apabila
adasalah satu noda dibagian tubuh, maka kita tidak perlu mengamputasi ataumemotong
organ tersebut. Namun cukup dibersihkan dan disucikan, dalamhal ini dengan cara
mengajak mereka untuk kembali kepada ajaran paradatuknya dari golongan
orang-orang shaleh yang berakhidah ahlussunnahwal jama’ah.
Menurut Al-Habib Salim bin Abdullah Asy-Syathiri, para wali
Songo yang menyebarkan dakwah Islamiyah di Indonesia mereka adalah para
alawiyin yang datang dari Hadramaut. Mereka merupakan para dzuriyat Rasulullah
yang silsilahnya bersambung kepada Al-Imam Ahmad Al-Muhajir. Sisilsilah wali Songo
sampai kepada Alwi ‘Am Al-Faqih Al-Muqaddam (paman dari Al-Faqih Al-Muqaddam).
Alwi ini memiliki sebelas putra. Dari kesebelas putera inilah yang
meregenerasikan para ulama yang bertebaran ke berbagai penjuru dunia. Di antara
puteranya itu adalah Abdul Malik yang kemudian berhijrah ke India. Abdul Malik
memiliki putera yang bernama Abdullah. Dari Abdullah inilah terlahir Ahmad
Jalaludin, yang selanjutnya memiliki keturunan penyebar dakwah Islam di Asia
Tenggara terkenal dengan sebutan wali Songo.
Dari rujukan
berbagai kitab sejarah yang mu’tabar dapar kita temukan bahwa para wali Songo
itu adalah keturunan ba’alawi yang selalu berpegang teguh pada ajaran para
leluhurnya, yaitu bermadzhab Syafi’I secara fikih dan secar akhidah mereka
menganut teologi Abu Hasan Al-Asy’ari dan Abu Mansur Al-Maturidi, sedangkan
manhaj dakwah mereka mengikuti thariqah ba’alawi.
Kemudian
Habib Salim bin Abdullah Asy-Syathiri mengingatkan, agar umat Islam
mempertahankan akidah yang telah dibawa oleh wali Songo dan tetap berada dalam
thariqoh salafisshalih, para generasi terdahulu yang memiliki keimanan yang
kuat. Menurut beliau akidah ahlussunnah wal jama’ah adalah ajaran yang sudah
mu’tabar dan diakui oleh mayoritas ulama. Semua konsep keilmuan dan akhidah
yang menjadi landasan ajaran ini terkodifikasikan dalam banyak literature
keislaman. Dan semua literature itu dapat dipertanggungjawabkan secara ilmiah.
Habib Salim Asy-Syathiri kembali menegaskan, bahwa akidah ba’alawi berlandaskan
pada ahlussunnah wal jama’ah. Yaitu sebuah ajaran yang tidak pernah mencaci
siapapun, apalagi para sahabat Rasulullah.
Menanggapi
beberapa golongan bani ‘alawi yang menyimpang, Habib Salim mengibaratkannya
seperti organ tubuh yang terkena noda. Apabila ada salah satu noda dibagian
tubuh, maka kita tidak perlu mengamputasi atau memotong organ tersebut. Namun
cukup dibersihkan dan disucikan, dalam hal ini dengan cara mengajak mereka
untuk kembali kepada ajaran para datuknya dari golongan orang-orang shaleh yang
berakhidah ahlussunnah wal jama’ah.
-->
Walisongo atau Walisanga dikenal sebagai penyebar agama
Islam di tanah Jawa pada abad ke 14. Mereka tinggal di tiga wilayah penting
pantai utara Pulau Jawa, yaitu Surabaya-Gresik-Lamongan di Jawa Timur,
Demak-Kudus-Muria di Jawa Tengah, dan Cirebon di Jawa Barat.
Era Walisongo adalah era berakhirnya dominasi Hindu-Budha
dalam budaya Nusantara untuk digantikan dengan kebudayaan Islam. Mereka adalah
simbol penyebaran Islam di Indonesia, khususnya di Jawa. Tentu banyak tokoh
lain yang juga berperan. Namun peranan mereka yang sangat besar dalam
mendirikan Kerajaan Islam di Jawa, juga pengaruhnya terhadap kebudayaan masyarakat
secara luas serta dakwah secara langsung, membuat para Walisongo ini lebih
banyak disebut dibanding yang lain.
-->
Mereka adalah Maulana Malik Ibrahim, Sunan Ampel, Sunan
Giri, Sunan Bonang, Sunan Dradjad, Sunan Kalijaga, Sunan Kudus, Sunan Muria, serta
Sunan Gunung Jati. Mereka tidak hidup pada saat yang persis bersamaan. Namun
satu sama lain mempunyai keterkaitan erat, bila tidak dalam ikatan darah juga
dalam hubungan guru-murid
Maulana Malik Ibrahim yang tertua. Sunan Ampel anak Maulana
Malik Ibrahim. Sunan Giri adalah keponakan Maulana Malik Ibrahim yang berarti
juga sepupu Sunan Ampel. Sunan Bonang dan Sunan Drajad adalah anak Sunan Ampel.
Sunan Kalijaga merupakan sahabat sekaligus murid Sunan Bonang. Sunan Muria anak
Sunan Kalijaga. Sunan Kudus murid Sunan Kalijaga. Sunan Gunung Jati adalah
sahabat para Sunan lain, kecuali Maulana Malik Ibrahim yang lebih dahulu
meninggal.
Mereka tinggal di pantai utara Jawa dari awal abad 15 hingga
pertengahan abad 16, di tiga wilayah penting. Yakni Surabaya-Gresik-Lamongan di
Jawa Timur, Demak-Kudus-Muria di Jawa Tengah, serta Cirebon di Jawa Barat.
Mereka adalah para intelektual yang menjadi pembaharu masyarakat pada masanya.
Mereka mengenalkan berbagai bentuk peradaban baru: mulai dari kesehatan,
bercocok tanam, niaga, kebudayaan dan kesenian, kemasyarakatan hingga
pemerintahan.
Pesantren Ampel Denta dan Giri adalah dua institusi
pendidikan paling penting di masa itu. Dari Giri, peradaban Islam berkembang ke
seluruh wilayah timur Nusantara. Sunan Giri dan Sunan Gunung Jati bukan hanya
ulama, namun juga pemimpin pemerintahan. Sunan Giri, Bonang, Kalijaga, dan
Kudus adalah kreator karya seni yang pengaruhnya masih terasa hingga sekarang.
Sedangkan Sunan Muria adalah pendamping sejati kaum jelata.
Era Walisongo adalah era berakhirnya dominasi Hindu-Budha
dalam budaya Nusantara untuk digantikan dengan kebudayaan Islam. Mereka adalah
simbol penyebaran Islam di Indonesia. Khususnya di Jawa. Tentu banyak tokoh
lain yang juga berperan. Namun peranan mereka yang sangat besar dalam
mendirikan Kerajaan Islam di Jawa, juga pengaruhnya terhadap kebudayaan
masyarakat secara luas serta dakwah secara langsung, membuat “sembilan wali”
ini lebih banyak disebut dibanding yang lain.
Masing-masing tokoh tersebut mempunyai peran yang unik dalam
penyebaran Islam. Mulai dari Maulana Malik Ibrahim yang menempatkan diri
sebagai “tabib” bagi Kerajaan Hindu Majapahit; Sunan Giri yang disebut para
kolonialis sebagai “paus dari Timur” hingga Sunan Kalijaga yang mencipta karya
kesenian dengan menggunakan nuansa yang dapat dipahami masyarakat Jawa -yakni
nuansa Hindu dan Budha
Tidak ada komentar:
Posting Komentar