Jumat, 05 Juli 2013

SEJARAH WALISONGO

MenurutAl-Habib Salim bin Abdullah Asy-Syathiri, para wali Songo yangmenyebarkan dakwah Islamiyah di Indonesia mereka adalah para alawiyinyang datang dari Hadramaut. Mereka merupakan para dzuriyat Rasulullahyang silsilahnya bersambung kepada Al-Imam Ahmad Al-Muhajir. Sisilsilahwali Songo sampai kepada Alwi ‘Am Al-Faqih Al-Muqaddam (paman dariAl-Faqih Al-Muqaddam). Alwi ini memiliki sebelas putra. Dari kesebelasputera inilah yang meregenerasikan para ulama yang bertebaran keberbagai penjuru dunia. Di antara puteranya itu adalah Abdul Malik yangkemudian berhijrah ke India. Abdul Malik memiliki putera yang bernamaAbdullah. Dari Abdullah inilah terlahir Ahmad Jalaludin, yangselanjutnya memiliki keturunan penyebar dakwah Islam di Asia Tenggaraterkenal dengansebutan wali Songo.
Darirujukan berbagai kitab sejarah yang mu’tabar dapar kita temukan bahwapara wali Songo itu adalah keturunan ba’alawi yang selalu berpegangteguh pada ajaran para leluhurnya, yaitu bermadzhab Syafi’I secara fikihdan secar akhidah mereka menganut teologi Abu Hasan Al-Asy’ari dan AbuMansur Al-Maturidi, sedangkan manhaj dakwah mereka mengikuti thariqahba’alawi.
Kemudian Habib Salim bin Abdullah Asy-Syathirimengingatkan, agar umat Islam mempertahankan akidah yang telah dibawaoleh wali Songo dan tetap berada dalam thariqoh salafisshalih, paragenerasi terdahulu yang memiliki keimanan yang kuat. Menurut beliauakidah ahlussunnah wal jama’ah adalah ajaran yang sudah mu’tabar dandiakui oleh mayoritas ulama. Semua konsep keilmuan dan akhidah yangmenjadi landasan ajaran ini terkodifikasikan dalam banyak literaturekeislaman. Dan semua literature itu dapat dipertanggungjawabkan secarailmiah. Habib Salim Asy-Syathiri kembali menegaskan, bahwa akidahba’alawi berlandaskan pada ahlussunnah wal jama’ah. Yaitu sebuah ajaranyang tidak pernah mencaci siapapun, apalagi para sahabat Rasulullah.
Menanggapibeberapa golongan bani ‘alawi yang menyimpang, Habib Salimmengibaratkannya seperti organ tubuh yang terkena noda. Apabila adasalah satu noda dibagian tubuh, maka kita tidak perlu mengamputasi ataumemotong organ tersebut. Namun cukup dibersihkan dan disucikan, dalamhal ini dengan cara mengajak mereka untuk kembali kepada ajaran paradatuknya dari golongan orang-orang shaleh yang berakhidah ahlussunnahwal jama’ah.
 Menurut Al-Habib Salim bin Abdullah Asy-Syathiri, para wali Songo yang menyebarkan dakwah Islamiyah di Indonesia mereka adalah para alawiyin yang datang dari Hadramaut. Mereka merupakan para dzuriyat Rasulullah yang silsilahnya bersambung kepada Al-Imam Ahmad Al-Muhajir. Sisilsilah wali Songo sampai kepada Alwi ‘Am Al-Faqih Al-Muqaddam (paman dari Al-Faqih Al-Muqaddam). Alwi ini memiliki sebelas putra. Dari kesebelas putera inilah yang meregenerasikan para ulama yang bertebaran ke berbagai penjuru dunia. Di antara puteranya itu adalah Abdul Malik yang kemudian berhijrah ke India. Abdul Malik memiliki putera yang bernama Abdullah. Dari Abdullah inilah terlahir Ahmad Jalaludin, yang selanjutnya memiliki keturunan penyebar dakwah Islam di Asia Tenggara terkenal dengan sebutan wali Songo.
Dari rujukan berbagai kitab sejarah yang mu’tabar dapar kita temukan bahwa para wali Songo itu adalah keturunan ba’alawi yang selalu berpegang teguh pada ajaran para leluhurnya, yaitu bermadzhab Syafi’I secara fikih dan secar akhidah mereka menganut teologi Abu Hasan Al-Asy’ari dan Abu Mansur Al-Maturidi, sedangkan manhaj dakwah mereka mengikuti thariqah ba’alawi. 
 Kemudian Habib Salim bin Abdullah Asy-Syathiri mengingatkan, agar umat Islam mempertahankan akidah yang telah dibawa oleh wali Songo dan tetap berada dalam thariqoh salafisshalih, para generasi terdahulu yang memiliki keimanan yang kuat. Menurut beliau akidah ahlussunnah wal jama’ah adalah ajaran yang sudah mu’tabar dan diakui oleh mayoritas ulama. Semua konsep keilmuan dan akhidah yang menjadi landasan ajaran ini terkodifikasikan dalam banyak literature keislaman. Dan semua literature itu dapat dipertanggungjawabkan secara ilmiah. Habib Salim Asy-Syathiri kembali menegaskan, bahwa akidah ba’alawi berlandaskan pada ahlussunnah wal jama’ah. Yaitu sebuah ajaran yang tidak pernah mencaci siapapun, apalagi para sahabat Rasulullah.
 Menanggapi beberapa golongan bani ‘alawi yang menyimpang, Habib Salim mengibaratkannya seperti organ tubuh yang terkena noda. Apabila ada salah satu noda dibagian tubuh, maka kita tidak perlu mengamputasi atau memotong organ tersebut. Namun cukup dibersihkan dan disucikan, dalam hal ini dengan cara mengajak mereka untuk kembali kepada ajaran para datuknya dari golongan orang-orang shaleh yang berakhidah ahlussunnah wal jama’ah.
-->
Walisongo atau Walisanga dikenal sebagai penyebar agama Islam di tanah Jawa pada abad ke 14. Mereka tinggal di tiga wilayah penting pantai utara Pulau Jawa, yaitu Surabaya-Gresik-Lamongan di Jawa Timur, Demak-Kudus-Muria di Jawa Tengah, dan Cirebon di Jawa Barat.
Era Walisongo adalah era berakhirnya dominasi Hindu-Budha dalam budaya Nusantara untuk digantikan dengan kebudayaan Islam. Mereka adalah simbol penyebaran Islam di Indonesia, khususnya di Jawa. Tentu banyak tokoh lain yang juga berperan. Namun peranan mereka yang sangat besar dalam mendirikan Kerajaan Islam di Jawa, juga pengaruhnya terhadap kebudayaan masyarakat secara luas serta dakwah secara langsung, membuat para Walisongo ini lebih banyak disebut dibanding yang lain.
-->
Mereka adalah Maulana Malik Ibrahim, Sunan Ampel, Sunan Giri, Sunan Bonang, Sunan Dradjad, Sunan Kalijaga, Sunan Kudus, Sunan Muria, serta Sunan Gunung Jati. Mereka tidak hidup pada saat yang persis bersamaan. Namun satu sama lain mempunyai keterkaitan erat, bila tidak dalam ikatan darah juga dalam hubungan guru-murid
Maulana Malik Ibrahim yang tertua. Sunan Ampel anak Maulana Malik Ibrahim. Sunan Giri adalah keponakan Maulana Malik Ibrahim yang berarti juga sepupu Sunan Ampel. Sunan Bonang dan Sunan Drajad adalah anak Sunan Ampel. Sunan Kalijaga merupakan sahabat sekaligus murid Sunan Bonang. Sunan Muria anak Sunan Kalijaga. Sunan Kudus murid Sunan Kalijaga. Sunan Gunung Jati adalah sahabat para Sunan lain, kecuali Maulana Malik Ibrahim yang lebih dahulu meninggal.
Mereka tinggal di pantai utara Jawa dari awal abad 15 hingga pertengahan abad 16, di tiga wilayah penting. Yakni Surabaya-Gresik-Lamongan di Jawa Timur, Demak-Kudus-Muria di Jawa Tengah, serta Cirebon di Jawa Barat. Mereka adalah para intelektual yang menjadi pembaharu masyarakat pada masanya. Mereka mengenalkan berbagai bentuk peradaban baru: mulai dari kesehatan, bercocok tanam, niaga, kebudayaan dan kesenian, kemasyarakatan hingga pemerintahan.
Pesantren Ampel Denta dan Giri adalah dua institusi pendidikan paling penting di masa itu. Dari Giri, peradaban Islam berkembang ke seluruh wilayah timur Nusantara. Sunan Giri dan Sunan Gunung Jati bukan hanya ulama, namun juga pemimpin pemerintahan. Sunan Giri, Bonang, Kalijaga, dan Kudus adalah kreator karya seni yang pengaruhnya masih terasa hingga sekarang. Sedangkan Sunan Muria adalah pendamping sejati kaum jelata.
Era Walisongo adalah era berakhirnya dominasi Hindu-Budha dalam budaya Nusantara untuk digantikan dengan kebudayaan Islam. Mereka adalah simbol penyebaran Islam di Indonesia. Khususnya di Jawa. Tentu banyak tokoh lain yang juga berperan. Namun peranan mereka yang sangat besar dalam mendirikan Kerajaan Islam di Jawa, juga pengaruhnya terhadap kebudayaan masyarakat secara luas serta dakwah secara langsung, membuat “sembilan wali” ini lebih banyak disebut dibanding yang lain.
Masing-masing tokoh tersebut mempunyai peran yang unik dalam penyebaran Islam. Mulai dari Maulana Malik Ibrahim yang menempatkan diri sebagai “tabib” bagi Kerajaan Hindu Majapahit; Sunan Giri yang disebut para kolonialis sebagai “paus dari Timur” hingga Sunan Kalijaga yang mencipta karya kesenian dengan menggunakan nuansa yang dapat dipahami masyarakat Jawa -yakni nuansa Hindu dan Budha



Tidak ada komentar:

Posting Komentar