Sudah banyak orang tahu bahwa Sunan Kalijaga itu aslinya
bernama Raden Said.
Putra Adipati Tuban yaitu Tumenggung Wilatikta. Tumenggung
Wilatikta seringkali disebut Raden Sahur, walau dia termasuk keturunan
Ranggalawe yang beragama Hindu tapi Raden Sahur sendiri sudah masuk agama
Islam.
Sejak kecil Raden Said sudah diperkenalkan kepada agama
Islam oleh guru agama Kadipaten Tuban. Tetapi karena melihat keadaan sekitar
atau lingkungan yang kontradiksi dengan kehidupan rakyat jelata maka jiwa Raden
Said berontak. Gelora jiwa muda Raden said seakan meledak-ledak manakala
melihat praktek oknum pejabat Kadipaten Tuban di saat menarik pajak pada
penduduk atau rakyat jelata. Tour Wisata Walisongo di malang..
Rakyat yang pada waktu itu sudah sangat menderita
dikarenakan adanya musim kemarau panjang, semakin sengsara, mereka harus
membayar pajak yang kadangkala tidak sesuai dengan ketentuan yang ada. Bahkan
jauh dari kemampuan mereka. Seringkali jatah mereka untuk persediaan menghadapi
musim panen berikutnya sudah disita para penarik pajak. Raden Said yang
mengetahui hal itu pernah mengajukan pertanyaan yang mengganjal di hatinya.
Suatu hari dia menghadap ayahandanya.
“Rama Adipati, rakyat tahun ini sudah semakin sengsara
karena panen banyak yang gagal,” kata Raden Said. “Mengapa pundak mereka masih
harus dibebani dengan pajak yang mencekik leher mereka. Apakah hati nurani Rama
tidak merasa kasihan atas penderitaan mereka ?”
Adipati Wilatikta menatap tajam kea rah putranya. Sesaat
kemudian dia menghela nafas panjang dan kemudian mengeluarkan suara, “Said
anakku ..... saat ini pemerintah pusat Majapahit sedang membutuhkan dana yang
sangat besar untuk melangsungkan roda pemerintahan. Aku ini hanyalah seorang
bawahan sang Prabu, apa dayaku menolak tugas yang dibebankan kepadaku. Bukan hanya
Kadipaten Tuban yang diwajibkan membayar upeti lebih banyak dari tahun-tahun
yang lalu. Kadipaten lainnya juga mendapat tugas serupa.” Mau tour wisata di malang yang murah?
“Tapi …… mengapa harus rakyat yang jadi korban.” Sahut Raden
Said. Tapi Raden Said tak meneruskan ucapannya. Dilihatnya saat itu wajah
ayahnya berubah menjadi merah padam pertanda hatinya sedang tersinggung atau
naik pitam. Baru kali ini Raden Said membuat ayahnya marah. Hal yang selama
hiduptak pernah dilakukannya.
Raden Said tahu diri. Sambil bersungut-sungut dia merunduk
dan mengundurkan diri dari hadapan ayahnya yang sedang marah.
Ya, Raden Said tak perlu melanjutkan pertanyaan. Sebab dia
sudah dapat menjawabnya sendiri. Majapahit sedang membutuhkan dana besar karena
negeri itu sering menghadapi kekacauan, baik memadamkan pemberontakan maupun
terjadinya perang saudara.
Walau Raden Said putra seorang bangsawan dia lebih menyukai
kehidupan yang bebas, yang tidak terikat oleh adapt istiadat kebangsawanan. Dia
gemar bergaul dengan rakyat jelata atau dengan segala lapisan masyarakat, dari
yang paling bawah hingga yang paling atas. Justru karena pergaulannya yang
supel itulah dia banyak mengetahui selukbeluk kehidupan rakyat Tuban. Niat
untuk mengurangi penderitaan rakyat sudah disampaikan kepada ayahnya. Tapi
agaknya ayahnya tak bisa berbuat banyak. Dia cukup memahaminya pula posisi
ayahnya sebagai adipati bawahan Majapahit. Tapi niat itu tak pernah padam.
Jika malam-malam sebelumnya dia sering berada di dalam
kamarnya sembari mengumandangkan ayat-ayat suci Al-Qur’an, maka sekarang dia
keluar rumah.
Di saat penjaga gudang Kadipaten tertidur lelap, Raden Said
mengambil sebagian hasil bumi yang ditarik dari rakyat untuk disetorkan ke
Majapahit. Bahan makan itu dibagi-bagikan kepada rakyat yang sangat
membutuhkannya.
Tentu saja rakyat yang tak tahu apa-apa itu menjadi kaget
bercampur girang menerima rezeki yang tak diduga-duga. Walau mereka tak pernah
tahu siapa gerangan yang memberikan rezeki itu, sebabnya Raden Said
melakukannya di malam hari secara sembunyi-sembunyi.
Bukan hanya rakyat yang terkejut atas rezeki yang seakan
turun dari langit itu. Penjaga gudang Kadipaten juga merasa kaget, hatinya
kebat-kebit, soalnya makin hari barangbarang yang hendak disetorkan ke pusat
kerajaan Majapahit itu makin berkurang.
Ia ingin mengetahui siapakah pencuri barang hasil bumi di
dalam gudang itu. Suatu malam ia sengaja sengaja mengintip dari kejauhan, dari
balik sebuah rumah, tak jauh dari gudang Kadipaten.
Dugaannya benar, ada seseorang membuka pintu gudang, hampir
tak berkedip penjaga gudang itu memperhatikan, pencuri itu. Dia hampir tak
percaya, pencuri itu adalah Raden Said, putra junjungannya sendiri.
Untuk melaporkannya sendiri kepada Adipati Wilatikta ia tak
berani. Kuatir dianggap membuat fitnah. Maka penjaga gudang itu hanya minta dua
orang saksi dari sang Adipati untuk memergoki pencuri yang mengambil hasil bumi
rakyat yang tersimpan di gudang.
Raden Said tak pernah menyangka bahwa malam itu perbuatannya
bakal ketahuan. Ketika ia hendak keluar dari gudang sambil membawa bahan-bahan
makanan, tiga orang prajurid Kadipaten menangkapnya beserta barang bukti yang
dibawanya. Raden Said dibawa kehadapan ayahnya.
“Sungguh memalukan sekali perbuatanmu itu !” hardik Adipati
Wilatikta. “Kurang apakah aku ini, benarkah aku tak menjamin kehidupanmu di
istana Kadipaten ini ?
Apakah aku pernah melarangnya untuk makan
sekenyang-kenyangnya di Istana ini ? Atau aku tidak pernah memberimu pakaian ?
Mengapa kau lakukan perbuatan tecela itu ?”
Raden Said tidak mengeluarkan suara. Biarlah, bisik hatinya.
Biarlah orang tak pernah tahu untuk apa barang-barang yang tersimpan di gudang
Kadipaten itu kuambil. Biarlah ayahku tak pernah tahu kepada siapa
barang-barang itu kuberikan. Adipati Wilatikta semakin marah melihat sikap
anaknya itu. Raden Said tidak menjawabnya untuk apakah dia mencuri
barang-barang hasil bumi yang hendak disetorkan ke Majapahit itu.
Tapi untuk itu Raden Said harus mendapat hukuman, karena
kejahatan mencuri itu baru pertama kali dilakukannya maka dia hanya mendapat
hukuman cambuk dua ratus kali pada tangannya. Kemudian disekap selama beberapa
hari, tak boleh keluar rumah.
Jerakah Raden Said atas hukuman yang sudah diterimanya ?
Sesudah keluar dari hukuman dia benar-benar keluar dari lingkungan istana. Tak
pernah pulang sehingga membuat cemas ibu dan adiknya. Apa yang dilakukan Raden
Said selanjutnya ?
Dia mengenakan topeng khusus, berpakaian serba hitam dan
kemudian merampok harta orang-orang kaya di kabupaten Tuban. Terutama orang
kaya yang pelit dan para pejabat Kadipaten yang curang. Harta hasil rampokan
itupun diberikannya kepada fakir miskin dan orang-orang yang menderita lainnya.
Tapi ketika perbuatannya ini mencapai titik jenuh ada saja orang yang bermaksud
mencelakakannya.
Ada seorang pemimpin perampok sejati yang mengetahui aksi Raden
Said menjarah harta pejabat kaya, kemudian pemimpin rampok itu mengenakan
pakaian serupa dengan pakaian Raden Said, bahkan juga mengenakan topeng seperti
topeng Raden Said juga.
Pada suatu malam, Raden Said yang baru saja menyelesaikan
shalat IsyĆ” mendengar jerit tangis para penduduk desa yang kampungnya sedang
dijarah perampok. Dia segera mendatangi tempat kejadian itu. Begitu mengetahui
kedatangan Raden
Said, kawanan perampok itu segera berhamburan melarikan
diri. Tinggal pemimpin mereka yang sedang asyik memperkosa seorang gadis
cantik. Raden Said mendobrak pintu rumah si gadis yang sedang diperkosa. Di
dalam sebuah kamar dia melihat seseorang berpakaian seperti dirinya, juga mengenakan
topeng serupa sedang berusaha mengenakan pakaiannya kembali. Rupanya dia sudah
selesai memperkosa gadis itu.
Raden Said berusaha menangkap perampok itu. Namun pemimpin
rampok itu berhasil melarikan diri. Mendadak terdengar suara kentongan di pukul
bertalu-talu, penduduk dari kampung lain berdatangan ke tempat itu. Pada saat
itulah si gadis yang baru diperkosa perampok tadi menghamburkan diri dan
menangkap erat-erat tangan Raden Said. Raden Said pun jadi panik dan
kebingungan. Para pemuda dari kampung lain menerobos masuk dengan senjata
terhunus. Raden Said ditangkap dan dibawa ke rumah kepala desa.
Kepala desa yang merasa penasaran mencoba membuka topeng di
wajah Raden Said. Begitu mengetahui siapa orang dibalik topeng itu sang kepala
desa jadi terbungkam. Sama sekali tak disangkanya bahwa perampok itu adalah
putra junjungannya sendiri yaitu Raden Said. Gegerlah masyarakat pada saat itu.
Raden Said dianggap perampok dan pemerkosa. Si gadis yang diperkosa adalah
bukti kuat dan saksi hidup atas kejadian itu. Sang kepala desa masih berusaha
menutup aib junjungannya. Diam-diam ia membawa Raden Said ke istana Kadipaten
Tuban tanpa diketahui orang banyak. Tentu saja sang Adipati menjadi murka. Sang
Adipati yang selama ini selalu merasa sayang dan selalu membela anaknya kali
ini juga naik pitam. Raden Said diusir dari wilayah Kadipaten Tuban.
“Pergi dari Kadipaten Tuban ini !” kau telah mencoreng nama
baik keluargamu sendiri ! pergi ! jangan kembali sebelum kau dapat menggetarkan
dinding-dinding istana Kadipaten Tuban ini dengan ayat-ayat Al-Qur’an yang
sering kau baca di malam hari !”
Sang Adipati Wilatikta juga sangat terpukul atas kejadian
itu. Raden Said yang diharapkan dapat menggantikan kedudukannya selaku Adipati
Tuban ternyata telah menutup kemungkinan ke arah itu. Sirna sudah segala
harapan sang adipati. Hanya ada satu orang yang tak dapat mempercayai perbuatan
Raden Said, yaitu Dewi Rasawulan, adik Raden said. Raden Said itu berjiwa
bersih luhur dan sangat tidak mungkin melakukan perbuatan keji. Hati siapa yang
takkan hancur mengalami peristiwa seperti ini. Raden Said bermaksud menolong
fakir miskin dan penduduk yang menderita tapi akibatnya justru dia sendiri yang
harus menelan derita. Diusir dari Kadipaten Tuban.
Orang tua mana yang tak terpukul batinnya mengetahui anak
dambaan hati tiba-tiba berbuat jahat dan menghancurkan nama dan masa depannya
sendiri. Tapi itulah peristiwa yang memang harus dialami oleh Raden Said.
Seandainya tidak ada fitnah seperti itu, barangkali Raden Said tidak bakal
menjadi seorang ulama besar, seorang Wali yang dikagumi oleh seluruh penduduk
Tanah Jawa. Raden Said betul-betul meninggalkan Kadipaten Tuban.
Dewi Rasawulan yang sangat menyayangi kakaknya itu merasa
kasihan, tanpa sepengetahuan ayah dan ibunya dia meninggalkan istana Kadipaten
Tuban untuk mencari Raden Said untuk diajak pulang. Tentu saja sang ayah dan
ibu kelabakan mengetahui hal ini. Segera saja diperintahkan puluhan prajurit
Tuban untuk mencari Dewi Rasawulan tak
pernah ditemukan oleh mereka.
Di dalam Babad Tanah Jawa dikisahkan bahwa Dewi Rasawulan
pada akhirnya telah ditemukan oleh Empu Supa, seorang Tumenggung Majapahit yang
menjadi murid Sunan Kalijaga. Dewi Rasawulan kemudian dijodohkan dengan Empu
Supa. Dan kembali ke Tuban bersama-sama dengan diantar Sunan Kalijaga yang tak
lain adalah Raden Said sendiri.
1. Diusir Dari Kadipaten
-->
Sunan Kalijaga itu aslinya bernama Raden Said. Putera
Adipati Tuban yaitu Tumenggung Wilakita.
Tumenggung Wilakita seringkali disebut Raden Sahur, walau
dia termasuk keturunan Ranggawale yang beragama Hindu tapi Raden Sahur sendiri
sudah masuk agama Islam.
Sejak kecil Raden Said sudah diperkenalkan kepada agama
Islam oleh guru agama Kadipaten Tuban. Tetapi karena melihat keadaan sekitar
atau lingkungan yang kontradiksi dengan kehidupan rakyat jelata maka jiwa Raden
Said berontak.
Gelora jiwa muda Raden Said seakan meledak-ledak manakala
melihat praktek oknum pejabat kadipaten Tuban disaat menarik pajak pada
penduduk atau rakyat jelata.
-->
Rakyat yang pada waktu itu sudah sangat menderita
dikarenakan adanya musim kemarau panjang, semakin sengsara, mereka harus
membayar pajak yang kadangkala tidak sesuai dengan ketentuan yang ada. Bahkan
jauh dari kemampuan mereka. Seringkali jatah mereka untuk persediaan menghadapi
musim panen berikutnya sudah disita para penarik pajak.
Walau Raden Said putera seorang bangsawan dia lebih menyukai
kehidupan bebas, yang tidak terikat adat istiadat kebangsawanan. Dia gemar bergaul
dengan rakyat jelata atau dengan segala lapisan masyarakat, dari yang paling
bawah hingga yang paling atas. Justru karena pergaulannya yang supel itulah dia
banyak mengetahui seluk beluk kehidupan rakyat Tuban.
Niat untuk mengurangi penderitaan rakyat sudah disampaikan
kepada ayahnya. Tapi agaknya ayahnya tak bisa berbuat banyak. Dia cukup
memahaminya pula posisi ayahnya sebagai adipati bawahan Majapahit. Tapi niatnya
itu tidak pernah padam. Jika malam-malam sebelumnya dia sering berada di dalam kamarnya
sembari mengumandangkan ayat-ayat suci Al-Qur’an maka sekarang dia keluar
rumah.
Di saat penjaga gudang Kadipaten tertidur lelap, Raden Said
mengambil sebagian hasil bumi yang ditarik dari rakyat untuk disetorkan ke
Majapahit. Bahan makanan itu dibagi-bagikan kepada rakyat yang sangat
membutuhkannya. Hal ini dilakukan tanpa sepengetahuan mereka.
Tentu saja rakyat yang tak tahu apa-apa itu menjadi kaget
bercampur girang menerima rezeki yang tak diduga-duga. Walau mereka tak pernah
tahu siapa gerangan yang memberikan rezeki itu karena Raden Said melakukannya dimalam hari secara
sembunyi-sembunyi.
Bukan hanya rakyat yang terkejut atas rezeki yang seakan
turun dari langit itu. Penjaga gudang kadipaten juga merasa kaget, hatinya
kebat-kebit karena makin hari barang-barang yang hendak disetorkan ke pusat
kerajaan Majapahit itu semakin berkurang.
Ia ingin mengetahui siapakah pencuri barang hasil bumi di
dalam gudang itu. Suatu malam ia sengaja mengintip dari kejauhan, dari balik
sebuah rumah tak jauh dari gudang kadipaten.
Dugaannya benar, ada seseorang yang membuka pintu gudang,
hampir tak berkedip penjaga gudang itu
memperhatikan pencuri itu. Dia hampir tak percaya pencuri itu adalah Raden Said
putera junjungannya sendiri.
Untuk melaporkannya sendiri kepada adipati Wilatikta ia tak
berani. Kuatir dianggap membuat fitnah. Maka penjaga gudang itu hanya minta dua
orang saksi dari sang adipati untuk memergoki pencuri yang mengambil hasil bumi
rakyat yang tersimpan di gudang.
Raden Said tak pernah menyangka bahwa malam itu perbuatannya
bakal ketahuan. Ketika ia hendak keluar adari gudang sambil membawa bahan-bahan
makanan tiga orang prajurit kadipaten menangkapnya, beserta barang bukti yang
dibawanya. Raden Said dibawa ke hadapan ayahnya.
Adipati Wilatikta marah melihat perbuatan anaknya itu. Raden
Said tidak menjawab untuk apakah dia mencuri barang-barang hasil bumi yang
hendak disetorkan ke Majapahit.
Tapi untuk itu Raden Said harus mendapat hukuman, karena
kejahatan mencuri itu baru pertama kali dilakukannya maka ia hanya mendapat
hukuman cambuk dua ratus kali pada tangannya. Kemudian disekap selama beberapa
hari, tak boleh keluar rumah. Jerakah Raden Said atas hukuman yang sudah
diterimanya?
Sesudah keluar dari hukuman dia benar-beanr keluar dari lingkungan
istana. Tak pernah pulang sehingga membuat cemas ibu dan adiknya. Apa yang
dilakukan Raden Said selanjutnya?
Dia mengenakan topeng khusus, berpakaian serba hitam dan
kemudian merampok harta orang-orang kaya di kabupaten tuban. Terutama orang
kaya yang pelit dan para pejabat yang curang.
Harta hasil rampokan itu diberikannya kepada fakir miskin
dan orang-orang yang menderita lainnya. Tapi ketika perbuatannya itu mencapai
titik jenuh ada saja orang yang bermaksud mencelakakannya.
Ada seorang pemimpin perampok sejati yang mengetahui aksi
Raden Said menjarah harta pejabat kaya, kemudian pemimpin perampok itu mengenakan
pakaian serupa dengan pakaian Raden Said, bahkan juga mengenakan topeng seperti
Raden Said juga.
Pada suatu malam Raden Said baru saja menyelesaikan sholat
isya mendengar jerit tangis para penduduk desa kampunya sedang djarah perampok.
Dia segera mendatangi tempat kejadian itu. Begitu mengetahui
kedatangan Raden Said kawanan perampok itu segera berhamburan melarikan diri.
Tinggal pemimpin mereka yang sedang asik memperkosa seorang gadis cantik.
Raden Said mendobrak pintu rumah sigadis yang sedang diperkosa.
Didalam sebuah kamar dia melihat seorang berpakaian seperti dirinya, juga
mengenakan topeng serupa sedang berusaha mengenakan pakaiannya kembaili.
Rupanya dia sudah selesai memperkosa gadis tersebut.
Raden Said berusaha menangkap perampok itu namun pemimpin
perampok itu berhasil melarikan diri. Mendadak terdenganr suara kentongan
dipukul bertalu-talu, penduduk dari kampung lain berdatangan ke tempat itu.
Pada saat itulah si gadis yang baru diperkosa perampok tadi menangkap erat-erat
tangan Raden Said. Raden Said jadi panik dan kebingungan. Para pemuda dari
kampung lain menerobos masuk dengan senjata terhunus. Raden Said ditangkap dan
dibawa ke rumah kepala desa.
Kepala desa yang merasa penasaran mencoba membuka topeng di
wajah Raden Said. Begitu mengetahui siapa orang dibalik topeng itu sang kepada
desa menjadi terbungkam. Sama sekali tak disangkanya bahwa perampok itu adalah
putera junjungannya sendiri yaitu Raden Said. Gegerlah masyarakat pada saat
itu, Raden Said dianggap perampok dan pemerkosa. Si gadis yang diperkosa adalah
bukti dan saksi hidup atas kejadian itu.
Sang kepala desa masih berusaha menutup aib junjungannya.
Diam-diam ia membawa Raden Said ke istana kadipaten tuban tanpa sepengetahuan
orang.Tentu saja sang adipati jadi murka. Raden Said di usir dari
wilayah kadipaten tuban.
Pergi dari kadipaten tuban ini! Kau telah mencoreng nama
baik keluargamu sendiri, pergi! Jangan kembali sebelum kau dapat menggetarkan
dinding-dinding istana kadipaten tuban ini dengan ayat-ayat Al-Qur’an yang
sering kau baca di malam hari.
Sang adipati Wilatikta juga sangat terpukul atas kejadian
itu. Raden Said yang diharapkan dapat menggantikan kedudukannya ternyata telah
menutup kemungkinan ke arah itu, sirna sudah segala harapan sang adipati.
Hanya ada satu orang yang dapat mempercayai perbuatan Raden
Said, yaitu Dewi Rasawulan, adik Raden Said itu berjiwa luhur dan sangat tidak
mungkin melakukan perbuatan keji. Dewi Rasawulan yang sangat menyayangi
kakaknya itu merasa kasihan tanpa sepengetahuan ayah dan ibunya dia
meninggalkan istana kadipaten tuban untuk mencari Raden Said untuk diajak
pulang.
2. Mencari Guru Sejati
-->
Kemanakah Raden Said sesudah diusir dari kadipaten tuban,
ternyata ia mengembara tanpa tujuan pasti. Pada akhirnya dia menetap dihutan
Jatiwangi. Selama bertahun-tahun ia
menjadi perampok budiman. Mengapa disebut perampok budiman? Karena hasil
rampokkannya itu tak pernah dimakannya. Seperti dahulu, selalu diberikan kepada
fakir miskin.
Yang dirampoknya hanya para hartawan atau orang kaya kikir,
tidak menyantuni rakyat jelata. Dan tidak mau membayar zakat.Di hutan Jatiwangi dia membuang nama aslinya. Orang
menyebutnya dengan Brandal Lokajaya.
Pada suatu hari, ada seorang berjubah putih lewat hutan
Jatiwangi. Dari jauh Brandal lokajaya sudah mengincarnya. Orang itu membawa
tongkat yang gagangnya berkilauan.
Terus diawasinya orang tua berjubang putih itu. Setelah
dekat dia hadang langkahnya. Tanpa banyak bicara lagi direbutnya tongkat itu
dari tangan lelaki berjubah putih. Karena tongkat itu dicabut dengan paksa maka
orang berjubah putih itu jatuh tersungkur.
Dengan susah payah orang itu bangun, sepasang matanya
mengeluarkan air walau tak ada suara tangis dari mulutnya. Raden Said pada saat itu sedang mengamati
gagang tongkat yang dipegangnya. Ternyata tongkat itu bukan terbuat dari emas,
hanya gagangnya saja terbuat dari kuningan sehingga berkilauan tertimpa cahaya
matahari, seperti emas. Raden Said heran melihat orang tua itu menangis. Segera
diulurkannya kembali tongkat itu. Jangan menangis, ini tongkatmu kukembalikan.
Bukan tongkat ini yang kutangisi ujar lelaki itu sembari
memperlihatkan beberapa batang rumput ditangannya. Lihatlah ! aku telah berbuat
dosa, berbuat kesia-siaan. Rumput ini tercabut ketika aku jatuh tersungkur
tadi.
Hanyam beberapa lembar rumput. Kau merasa berdosa? Tanya
Raden Said heran.
Ya, memang berdosa! Karena kau mencabutnya tanpa sesuatu
keperluan. Andaikata kucabut guna makanan ternak itu tidak mengapa. Tapi untuk
sesuatu kesia-siaan benar-benar suatu dosa jawab lelaki itu.Hari Raden Said bergetar atas jawaban yang mengandung nilai
iman itu
Anak muda sesungguhnya apa yang kau cari dihutan ini?
Saya menginginkan harta?
Untuk apa?
Saya berikan kepada fakir miskin dan penduduk yang
menderita,.. hem…sungguh mulia hatimu, sayang…caramu mendapatkannya yang
keliru.
Orang tua….apa maksudmu?
Boleh aku bertanya anak muda? Desah orang tua itu. Jika kau
mencuci pakaianmu yang kotor dengan air kencing, apakah tindakanmu itu benar?
Sungguh perbuatan bodoh sahut Raden Said. Hanya menambah
kotor dan bau pakaian saja.
Lelaki itu tersenyum, demikianlah amal yang kau lakukan. Kau
bersedekah dengan barang yang didapat secara haram atau mencuri itu sama halnya
dengan mencuci pakaian dengan air kencing.
Raden Said tercekat. Lelaki itu melanjutkan ucapannya. Allah
itu adalah zat yang baik, hanya menerima amal dari barang yang baik atau halal.
Raden Said makin tercengang mendengar keterangan itu. Rasa
malu mulai menghujam lubuk hatinya. Betapa keliru perbuatannya selama ini.
Dipandangnya sekali lagi wajah lelaki tua itu. Agung dan berwibawa namun
mencerminkan pribadi yang welas asih. Dia mulai suka dan tertarik dengan lelaki
tua berjubah putih tersebut.
Banyak hal yang terkait dengan usaha mengentaskan kemiskinan
dan penderitaan rakyat pada saat ini.
Kau tidak bisa merubahnya hanya dengan memberi bantuan makan dan uang
kepada para penduduk miskin. Kau harus memperingatkan pada penguasa yang zalim
agar mau mengubah caranya memerintah yang sewenang-wenang, kau juga harus dapat
membimbing rakyat agar dapat meningkatkan taraf kehidupannya.
Raden Said semakin terpana, ucapan seperti itulah yang
didambakannya selama ini. Kalau kau tak mau kerja keras dan hanya ingin beramal
dengan cara yang mudah maka ambillah itu. Itu barang halal. Ambillah sesukamu!
Berkata demikian lelaki itu menunjuk pada sebatang pohon
aren. Seketika itu pohon berubah menjadi emas. Sepasang mata Raden Said
terbelalak. Dia adalah seorang pemuda sakti dan banyak ragam pengalaman yang
telah dikecapnya. Berbagai ilmu yang aneh-aneh telah dipelajarinya. Dia mengira
orang itu mempergunakan ilmu sihir. Kalau benar orang itu mengeluarkan ilmu
sihir ia pasti dapat mengatasinya.
Tapi setelah mengerahkan ilmunya, pohon aren itu tetap
berubah menjadi emas. Berarti orang tua itu tidak menggunakan sihir. Ia
benar-benar merasa heran dan penasaran, ilmu apakah yang telah dipergunakan
orang tua itu sehingga mampu merubah pohon menjadi emas.
Raden Said terdiam beberapa saat ditempatnya berdiri. Dia
mencoba memanjat pohon aren itu. Benar-benar berubah jadi emas seluruhnya. Ia
ingin mengambil buah aren yang telah berubah menjadi emas berkilauan itu.
Mendadak buah aren itu rontok, berjatuhan mengenai kepala Raden Said. Pemuda
itu jatuh terjerembab ke tanah roboh dan pingsan.
Ketika sadar, buah aren yang rontok itu telah berubah menjadi
hijau seperti aren-aren yang lainnya. Raden Said bangkit berdiri, mencari orang
tua berjubah putih tadi. Tapi yang dicari nya sudah tidak ada ditempat.
Ucapan orang tua tadi masih terngiang ditelinganya. Tentang
beramal dengan barang haram yang disamakan dengan mencuci pakaian dengan air
kencing. Tentang berbagai hal yang terkait dengan upaya memberantas kemiskinan.
Raden Said mengejar oarang itu. Segenap kemampuan
dikerahkannya untuk berlari cepat akhirnya dia dapat melihat bayangan orang tua
itu dari kejauhan.
Sepertinya santai saja orang itu melangkahkan kakinya tapi
Raden Said tak pernah bisa menyusulnya. Jatuh bangun terseok-seok dan berlari
lagi, demikianlah setelah tenaganya habis terkuras dia baru bisa sampai
dibelakang lelaki berjubah putih itu.
Lelaki berjubah putih itu berhenti, bukan karena kehadiran
Raden Said melainkan didepannya terbentang sungai cukup lebar. Tak ada jembatan
dan sungai itu tampaknya sangat dalam dengan apa dia harus menyeberang.
Tunggu……, ucap Raden Said ketika melihat orang tua itu
hendak melangkahkan kakinya lagi.
Sudilah kiranya tuan menerima saya sebagai murid…..pintanya.
Menjadi muridku? Tanya orang tua itu sembari menoleh. Mau
belajar apa?
Apa saja, asal tuan manerima saya sebagai murid….
Berat, berat sekali anak muda, bersediakah engkau menerima
syarat-syaratnya?
Saya bersedia….
Lelaki itu kemudian menancapkan tongkatnya ditepi sungai.
Raden Said diperintah menunggui tongkat itu. Tak boleh beranjak dari tempat itu
sebelum orang tua itu kembali menemuinya.
Raden Said bersedia menerima syarat ujian itu.
Selanjutnya lelaki itu menyeberangi sungai. Sepasang mata
Raden Said terbelalak heran, lelaki itu berjalan diatas air bagaikan berjalan
di daratan saja. Kakinya tidak basah terkena air, ia semakin yakin calon
gurunya itu adalah seorang lelaki berilmu tinggi, waskita dan mungkin saja
golongan para wali.
Setelah lelaki tuan itu hilang dari pandangan Raden Said,
pemuda ini duduk bersila dia teringat suatu kisah ajaib yang dibacanya didalam
Al-Qur’an yaitu kisah Ashabul Kahfi, maka ia segera berdoa kepada Tuhan supaya
ditidurkan seperti para pemuda di goa kahfi ratusan tahun yang silam.
Doanya dikabulkan. Raden Said tertidur dalam semedinya
selama tiga tahun. Akar dan rerumputan telah merambati tubuhnya dan hampir
menutupi sebagian besar anggota tubuhnya.
Setelah tiga tahun lelaki berjubah putih itu datang menemui
Raden Said. Tapi Raden Said tak bisa dibangunkan. Barulah setelah
mengumandangkan adzan pemuda itu membuka sepasang matanya.
Tubuh Raden Said dibersihkan, diberi pakaian baru yang
bersih. Kemudian dibawa ke tuban mengapa dibawa ke tuban? Karena lelaki
berjubah putih itu adalah sunan Bonang. Raden Said kemudian diberi pelajaran
agama sesuai dengan tingkatannya yaitu tingkat para waliyullah. Dikemudian hari
Raden Said terkenal dengan sebutan Sunan Kalijaga.
Kalijaga artinya orang yang menjaga sungai, karena dia
pernah bertapa ditepi sungai. Ada yang mengartikan Sunan Kalijaga adalah
penjaga aliran kepercayaan yang hidup pada masa itu. Dijaga maksudnya supaya
tidak membahayakan umat, melainkan diarahkan kepada ajaran Islam yang benar.
Ada juga yang mengartikan legenda pertemuan Raden Said
dengan Sunan Bonang hanya sekedar simbol saja. Kemanapun Sunan Bonang pergi
selalu membawa tongkat atau pegangan hidup., itu artinya Sunan Bonang selalu
membawa agama, membawa iman sebagai petunjuk jalan kehidupan.
Raden Said kemudian disuruh menunggui tongkat atau agama di
tepi sungai. Itu artinya Raden Said diperintah untuk terjun kedalam kancah masyarakat
jawa yang banyak mempunyai aliran kepercayaan dan masih berpegang pada agama
lama yaitu Hindu dan Budha.
Sunan Bonang mampu berjalan diatas air sungai tanpa amblas
ke dalam sungai. Bahkan tidak terkena
percikan air sungai. Itu artinya Sunan Bonang dapat bergaul dengan
masyarakat yang berbeda agama tanpa kehilangan identitas agama yang dianut oleh
Sunan Bonang sendiri yaitu Islam.
untuk tour infofmasi walisongo silahkan menghubungi :
1. Jl. Jati Murni Dalam No 26 Pejaten Pasar Minggu, Jakarta
Selatan
Mobile: 081 287 000 995
2. Perumahan Deltasari Indah Blok : AY No.28 Waru Surabaya ,
Jatim, Indonesia
Tidak ada komentar:
Posting Komentar